Maqalah ulama tentang wajibnya nasbul imamil a'dzam atau khalifah

Maqalah Ulama’ Sunni Tentang Wajibnya Nasbul Imamil A’dzam Atau Khalifah

Ta’rif Imamah dan Khilafah
1. Ta’rif lughawi.
Imamul lughah Al-fairus Abadi dalam Qamus Al-muhith menjelaskan sebagai berikut:
الإمامة في اللغة مصدر من الفعل ( أمَّ ) تقول : ( أمَّهم وأمَّ بهم : تقدمهم ، وهي الإمامة ، والإمام : كل ما ائتم به من رئيس أو غيره ) .ء
“Secara bahasa Imamah merupakan masdar dari kata kerja “amma”, (maka) anda menyatakan: ammahum dan amma bihim artinya adalah yang memimpin mereka. Yaitu imamah. Sedangkan imamah adalah setiap yang menjadi pembimbing di dalamnya baik pemimpin maupun yang lain”. (Al-fairuz Abadi, Al-qamusul Muhith, juz IV hal 78)

Dalam Ash-shihhah Al-jauhari berkata :
( الأمُّ بالفتح القصد ، يقال : أَمّه وأممه وتأممه إذا قصده )
“Al-‘ammu, dengan fathah (maksudnya) adalah tujuan. Maka dikatakan ammahu, wa ammamahu, wa ta’ammamahu apabila tujuannya padanya”. Dan seterusnya. (Imam Isma’il bin Hamad Al-jauhari, Taj Al-lughah wa Shihah Al-arabiyyah, Juz 5 hal 1865)

Sedangkan pengertian khilafah secara bahasa Imam al-Qalqasandi berkata :
ان الخلافة فى الاصل (مصدر خلف, يقال: خلفه فى قومه, يخلفه خلافة, فهو خليفة, ومنه قوله تعالى: وقال موسى لاخيه هارون اخلفني فى قومي (الاعراف: 142)
“Bahwa sesungguhnya khilafah itu adalah masdar dari khalafa, dikatakan bahwa dia menggantikannya pada kaumnya, (artinya) dia menggantikannya sebagai khilafah. Maka dia itu adalah khalifah. Pengertian yang semacam itu antara lain dalam firman-Nya Ta’ala:
“Dan Berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: “Gantikanlah Aku dalam (memimpin) kaumku…” (TQS Al-a’raf: 142) (Imam Al-qalqasandi, Ma’atsirul Inafah fii Ma’alim al-Khilafah, juz I hal 8)

Imam Al-hafidz Ibn Jarir Ath-thabari berkata :
قيل سلطان الاعظام: الخليفة, لانه خلف الذي كان قبله, فقام بالامر مقامه, فكان عنه خلفا. يقال منه: خلف الخليفة, يخلف خلافة, وخليفا..
“Sulthanul a’dzam (penguasa yang agung) disebut khalifah, karena dia menggantikan yang sebelumnya. Dia menempati posisi (yang sebelumnya) dalam memegang pemerintahan. Maka dia itu baginya adalah pengganti. Juga dikatakan: dia menggantikan khalifah, dia menggantikannya sebagai khilafah dan khalifah” (Imam Al-hafidz Ibnu Jarir Ath-thabari, Jami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, juz I hal 199)

Al-allamah Ibn Mandzur menjelaskan:
الخليفة الذي يستخلف ممن قبله. والجمع خلائف. جاؤا به على الاصل, مثل كريمة وكرائم. وهو الخليف, والجمع: خلفاء. أما سيبويه, فقال خليفة وخلفاء, …اه
“Khalifah itu adalah yang menganggantikan orang yang sebelumnya. Jama’nya adalah khala’if. Mereka (menghadirkan) jama’ tersebut pada pokok. Seperti kata “kariimah” dan “karaa’im”. Dan dia adalah pengganti, jama’nya adalah khulafah’. Adapun (Imam) Sibawaih menyatakan khalifah dan (jama’nya) khulafa’. (Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, point “khalafa”, juz I hal 882-883)

2. Ta’rif syar’I imamah dan khilafah
Tentang Imamah Imam Al-mawardi Asy-syafi’I menyatakan:
( الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به ) أ . هـ .
“Imamah itu obyeknya adalah khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi” (Imam Al-mawardi, Ali bin Muhammad, Al-ahkam As-sulthaniyyah, hal 5)

Imam Al-haramain berkata:
( الإمامة رياسة تامة ، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا ) أ . هـ .
“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh. Kepemimpinan yang berkaitan dengan hal umum maupun khusus dalam tugas-tugas agama maupun dunia”. (Imam Al-haramain, Abul Ma’ali Al-juwaini, Ghiyatsul Umam fil Tiyatsi Adz-dzulam hal 15)

Pada bagian yang lain pengarang kitab Al-mawaqif menyatakan :
قال قوم من أصحابنا الإمامة رياسة عامة في أمور الدين والدنيا لشخص من الأشخاص
“Telah berkata sebagaian golongan dari ashab kami bahwa imamah itu adalah kepemimpinan umum dalam berbagai urusan agama dan dunia”. (‘Idhuddin Abdurrahman bin Ahmad Al-aiji, Al-mawaqif, juz III hal 578)

Tentang khilafah, Imam Ar-ramli menyatakan :
الخليفة هو الامام الاعظام, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Khalifah itu adalah imam yang agung, yang tegak dalam khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta politik yang sifatnya duniawi” (Imam Ar-ramli, Muhammad bin Ahmad bin hamzah, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al-imam Asy-syafi’i, Juz 7 hal 289)

Syeikh Musthafa Shabri, syeikhul Islam khilafah Ustmaniyyah, menyatakan:
الخلافة عن الرسول الله صلى الله عليه وسلم فى تنفيذ ما أتى به من شريعة الاسلام
“Khilafah itu adalah penganti dari Rasulullah SAW dalam melaksanakan syariat Islam yang datang melalui beliau”. (Asy-syeikh Musthafa Shabri, Mauqiful Aqli, wal Ilmi wal ‘Alam, juz IV hal 262)

Shahibu Ma’atsiril Inafah fii Ma’alimil Khilafah menyatakan:
هى الولاية العامة على كافة الامة
“Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya untuk untuk umat secara keseluruhan”.

Dari paparan para Ulama’ diatas paling tidak ada dua hal yang bisa simpulkan. Pertama, para Ulama’ mendivinisikan Imamah dan khilafah dengan berbagai devinisi, serta dengan ungkapan yang berbeda antara satu dengan yang lain namun dari sisi maksud kurang lebih sama. Kedua, ketika mereka mendiskripsikan imamah dan khilafah mereka menunjuk pada obyek yang sama, atau dengan kata lain khilafah dan imamah al-udzma adalah sama.

Hal yang sama dikemukakan oleh Syeikh Mahmud A majid Al-khalidiy, dalam tesis doktornya yang berjudul Qawa’idu Nidzamil Hukmi fii Al-islam. Beliau menegaskan bahwa Imam dan khalifah itu menunjuk pada obyek sama. Bahkan setelah mengkaji dan selanjutnya merangkum pendapat para ulama’ tentang imamah dan khilafah ini Dr Mahmud A Majid mengemukakan devinisi tentang imamah atau khilafah yang lebih konprehensif. Beliau menegaskan bahwa ta’rif khilafah adalah :
رئاسة عامة للمسلمين جميعا فى الدنيا لاقامة احكام الشرعى الاسلامي, وحمل الدعوة الاسلامية الى العالم
“Kepemimpinan yang sifatnya bagi kaum Muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ yang Islami serta mengemban dakwah islam ke suluruh dunia”. (Prof Dr Mahmud A Majid Al-khalidi, Qawaid Nidzam Al-hukm fii Al-Islam, hal 225-230)

3. At-taraaduf antara lafadz Imam, Khalifah dan Amirul Mukminin.
Dr Abdullah bin Umar Ad-dumaiji dalam tesis masternya di Univ Ummul Qura yang berjudul Imamatul Udzma inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah menyatakan: “Bagi mereka yang malakukan eksplorasi secara seksama terhadap hadits-hadits tentang khilafah dan imamah akan mendapatkan fakta bahwa Rasulullah SAW, dan para shahabat, serta para Tabi’in, yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut, tidak membeda-bedakan lafadz khalifah dan imam. Bahkan setelah pengangkatan Sayidina Umar Ibn Al-khattab RA sebagai khalifah para shahabat malah menambahkan panggilan pada beliau dengan amirul Mukminin”. (Dr Abdullah bin Umar Ad-dumaiji, Imamatul Udzma inda Ahlissunnah wal Jama’ah, hal 32)

Karena itulah para Ulama’ menjadikan kata Imam dan Khalifah sebagai kata yang sinonim yang menunjuk pada pengertian yang sama. Misalnya Imam Al-hafidz An-nawawi. Beliau menyatakan:
( يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين )
“(untuk) imam Boleh disebut khalifah, imam atau amirul Mukminin”. (Syeikhul Islam Al-imam Al-hafidz Yahya bin Syaraf An-nawawi, Raudhah Ath-thalibin wa Umdah Al-muftin, juz X hal 49; Syeikh Khatib Asy-syarbini, Mughnil Muhtaj, Juz IV hal 132)

Al-allamah Aburrahman Ibnu Khaldun berkata:
وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام ) أ . هـ
“Dan ketika telah menjadi jelas bagi kita penjelasan ini, bahwa imam itu adalah wakil pemilik syariah dalam menjaga agama serta politik duniawi di dalamnya disebut khilafah dan imamah. Sedangkan yang menempatinya adalah khalifah atau imam”. (Abdurrahman Ibn Khaldun, Al-muqaddimah, hal 190)

Sedangkan Ibnu Mandzur mendifiniskan bahwa Khilafah itu adalah Imarah
Hal yang sama dikemukakan oleh Syeikh Muhammad Najib Al-muthi’I dalam takmilahnya terhadap kitab Al-majmu’ karya Imam An-nawawi. Beliau menegaskan:
( الإمامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة )
“Imamah, khilafah dan imaratul mukminin itu sinonim” (Ibn Mandzur, Lisanul Arab, Juz IX hal 83)

Syeikh Muhammad abu Zahrah menegaskan:
( المذاهب السياسية كلها تدور حول الخلافة وهي الإمامة الكبرى ، وسميت خلافة لأن الذي يتولاها ويكون الحاكم الأعظم للمسلمين يخلف النبي في إدارة شؤونهم ، وتسمى إمامة : لأن الخليفة كان يسمى إمامًا ، ولأن طاعته واجبة ، ولأن الناس كانوا يسيرون وراءه كما يصلون وراء من يؤمهم الصلاة )
“Madzhab-madzahab politik secara keseluruhan (selalu) seputar khilafah. Khilafah adalah imamah al-kubra (imamah yang agung). Disebut khilafah karena yang memegang dan yang menjadi penguasa yang agung atas kaum Muslim menggantikan Nabi SAW dalam mengatur urusan mereka. Disebut imamah karena khalifah itu disebut Imam. Karena ta’at padanya adalah wajib. Karena manusia berjalan di belakang imam tersebut layaknya mereka shalat dibelakang yang menjadi imam shalat mereka”. (Syeikh Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-madzahib Al-islamiyyah, juz I hal 21)

Imam Abul Qasim An-naisaburi Asy-syafi’i berkata :
… أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
“…umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab (“maka jilidlah”) adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula”. (Imam Abul Qasim Al-hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub Asy-syafi’I An-naisaburi, Tafsir An-naisaburi, juz 5 hal 465 )

Dalam kitab Hasyiyyah Al-bajairimi alal Minhaj dinyatakan :
( فَصْلٌ فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ … )
“…(Pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung dan penjelasan metode-metode in’iqad imamah. Dan (adanya) imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan…” (Hasyiyyah Al-bajayrimi ala Al-minhaj, juz 15 hal 66)

Imam Al-hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri mendokumentasikan ijma’ Ulama’ bahwa (keberadaan) Imamah itu fardhu :
… واتفقوا أن الامامة فرض وانه لا بد من امام حاشا النجدات وأراهم قد حادوا الاجماع وقد تقدمهم واتفقوا انه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا امامان لا متفقان ولا مفترقان ولا في مكانين ولا في مكان واحد …
“…Meraka (para ulama’) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali An-najdat. Pendapat mereka sungguh telah menyalahi ijma’ dan telah lewat pembahasan (tentang) mereka. Mereka (para ulama’) sepakat bahwa tidak boleh pada satu waktu di seluruh dunia adanya dua imam bagi kaum Muslimin baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat…” (Imam Al-hafidz Abu Muhammad, Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri, Maratibul Ijma’ , juz 1 hal 124)

Berkata shahibu Al-husun Al-hamidiyyah, Syeikh Sayyid Husain Afandi :
اعلم انه يجب على المسلمين شرعا نصب امام يقوم باقامة الحدود وسد الثغور وتجهيز الجيش …
“ketahuilah bahwa mengangkat Imam yang yang menegakkan had, memelihara perbatasan (negara), menyiapkan pasukan, … secara syar’i adalah wajib”. (Sayyid Husain Afandi, Al-husun Al-hamidiyyah, li Al-muhafadzah ala Al-aqa’id Al-islamiyyah, hal 189.)

Pelaksaan Fardhu Kifayah.
Adalah suatu hal yang ma’lumun minad din bidz-dzarurah bahwa fardhu itu ada dua macam. Fardhu kifayah dan fardhu ain. Sebagai kwajiban sebenarnya fardhu kifayah maupun fardhu ain sama, sama-sama fardhu, meski dari sisi pelaksanaannya berbeda. Imam Saifuddin al-Amidi dalam kitab al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam menegaskan :
المسألة الثانية لا فرق عند أصحابنا بين واجب العين، والواجب على الكفاية من جهة الوجوب، لشمول حد الواجب لهما
” masalah yang ke dua. Tidak ada perbedaan (menurut ashab kita) antara wajib ain dan wajib kifayah. Dari sisi kwajiban. Karena inklusinya batas kewajiban untuk keduanya”. (Imam Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Juz I hal 100)

Untuk batasan kesempurnaan pelaksanaan fardhu kifayah Imam Asy-syirazi, dalam kitab Al-luma’ fii Ushul Al-fiqh, menjelaskan :
فصل إذا ورد الخطاب بلفظ العموم دخل فيه كل من صلح له الخطاب ولا يسقط ذلك الفعل عن بعضهم بفعل البعض إلا فيما ورد الشرع به وقررة تعالى أنه فرض كفاية كالجهاد وتكفين الميت والصلاة عليه ودفنه فإنه إذا أقام به من يقع به الكفاية سقط عن الباقين …
“Fashal. Apabila terdapat khitab dengan lafadz umum maka masuk di dalamnya siapa saja yang kitab tersebut visible baginya dan perbuatan tersebut tidak gugur atas sebagian karena perbuatan sebagian (yang lain), kecuali atas apabila syara’ datang di dalamnya, dan Allah menetapkan bahwa khitab tersebut adalah fardhu kifayah. Seperti jihad, mengkafani jenazah, menshalatkan dan menguburkannya. Maka apabila kwajiban tersebut telah selesai ditunaikan (disini Imam sy-Syirazi menggunakan kata “aqaama”, bukan “qaama”; dalam bahasa arab kata “aqaama” artinya adalah “ja’alahu yaqumu” ) oleh siapa saja yang mampu, gugurlah (kwajiban) tersebut atas yang lain …”. (Imam Asy-syirazi, Al-luma’ fii Ushul Al-fiqh hal 82,)

Artinya, menurut Imam Asy-syirazi, apabila fardhu kifayah belum selesai ditunaikan maka kwajiban tersebut masih tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf yang menjadi obyek khitab taklif.
Allah SWT tidak akan Mentaklifkan sesuatu Melebihi Isthitha’ah Hamba-Nya
Setelah kita simpulkan bahwa nashbul khalifah adalah fardhu kifayah atas kaum Muslimin, pembahasan berikutnya adalah isthitha’ah. Adalah suatu yang ma’ruf bahwa isthitha’ah kaum Muslimin itu berbeda satu dengan yang lain; pemahaman, tenaga maupun harta. Keberagaman ini kadang kala dijadikan hujjah oleh sebagian kaum Muslimin untuk menyatakan bahwa kaum Muslimin sekarang ini tidak mampu melaksanakan kwajiban tersebut. Benarkah?
Pengertian isthitha’ah (kemampuan). Allah Tabaraka wa Ta’ala ber-firman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا (البقرة :286)
Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim menjelaskan :
وقوله “لا يكلف الله نفسا إلا وسعها” أي لا يكلَّف أحد فوق طاقته …
” … dan firman-Nya ” لا يكلف الله نفسا إلا وسعها ” adalah bahwa tidak dibebankan pada seseorang melebihi kemampuannya”. (Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Juz I hal 737)

Al-hafidz Ibnu Katsir menjelaskan :
وقوله تعالى “فاتقوا الله ما استطعتم” أي جهدكم وطاقتكم كما ثبت في الصحيحين عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إذا أمرتكم بأمر فائتوا منه ما استطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه”

” Dan firman-Nya Ta’ala: “فاتقوا الله ما استطعتم” maksudnya adalah dengan kesungguhan dan kemampuan kalian, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam dua kitab shahih dari Abi Hurairah RA. Dia berkata: bahwa Rasulullah SAW: ” apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka tunaikan berdasarkan kemampuan kalian, sedangkan perkara yang aku larang untuk kalian maka jauhilah … “. (Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Juz II hal 87)

Inilah yang ditegaskan Allah SWT atas kita, Allah tidak mentaklifkan pada kita suatu perkara yang diluar batas kemampuan kita. Pertanyaannya adalah, apakah nashbul khalifah litathbiqi syari’atillah merupakan kwajiban yang diluar batas ke-mampuan kita? Memang, kalau kwajiban tersebut hanya dilaksanakan oleh individu-individu kaum Muslimin, tentu akan melampaui batas kemampuan mareka. Tapi bukankah kwajiban nasbu al-khalifah tersebut adalah fardhu kifayah? kwajiban yang dibebankan terhadap kita kaum Muslimin secara umum? Artinya, selama kwajiban tersebut belum tertunaikan maka kwajiban nashbul khalifah tetap dibebankan diatas pundak kita, Seluruh kaum Muslimin.
Jadi nashbul khalifah adalah kwajiban kita. Tidak sungguh-sungguh untuk nashbul khalifah, tanpa udzur syar’i, secara syar’i terkategorikan sebagai penelantaran kwajiban yang dibebankan Allah atas kita. Apalagi diam, menghambat atau bahkan melawan perjuangan tersebut.
Khulashatul qaul kwajiban nashbul khalifah adalah fardhu atas seluruh kaum Muslimin, dan yang mengabaikan hal tersebut tanpa udzur syar’i berdosa. Wallahu a’lam bi ash-shawab wa huwa al- musta’an wa ‘ailihi al-ittikal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH LAPORAN PRAKERIN TUNE UP SMK N 2 KEBUMEN

Keutamaan sedekah